Jumat, 27 Mei 2011

KORUPSI DULU GRASI MENYUSUL


Pemberantasan korupsi yang belum jelas di negeri ini, meskinya penegakkan hukum harus tetap ditegakkan meskipun besok pagi langit runtuh, selanjutnya beberapa media dan masyarakat yang bereaksi terhadap pemberian grasi untuk koruptor, koruptor dulu baru grasi, di negeri ini memang koruptor ada peluang untuk dilindungi. Kuputusan hakim yang menjatuhkan hukuman terhadap Anggodo 4 tahun penjara dan denda 150 juta jelas melukai hati nurani rakyat di negeri ini. Dalam lingkungan politik yang tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi, mustahil korupsi bisa diatasi, faktor politik  bisa dikatakan sangat determinan dalam konteks mengatasi persoalan di negara manapun, (lihat opini kompas ,rabu,1/9)
             Hadiah  Untuk Koroptor Dari Istana
Grasi dan remisi pemerintah untuk sejumlah koruptor belum lama ini merupakan pukulan telak berikutnya terhadap gerakan pemberantasan korupsi. Ini pemandulan serius di hilir, ketika para koruptor "membayar" kejahatan mereka dalam sel penjara. Pengampunan dan keringanan hukuman merusak tujuan memberikan efek jera bagi koruptor, juga insentif kepada "calon koruptor" untuk melakukan kejahatan serupa. Pemerintah sekaligus mencampakkan program seratus hari pertamanya.
Pemberian remisi untuk 330 terpidana korupsi juga tidak tepat waktu, mengingat perang melawan kebatilan itu sedang berlangsung. Apalagi dalam daftar tercantum Aulia Pohan. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia yang juga besan Presiden itu langsung lepas dari kurungan beserta sebelas orang lainnya. Tak sulit untuk mengingat, terpidana korupsi dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia itu dihukum tiga tahun sejak Oktober 2008. Artinya, dengan pembebasan bersyarat dua pekan lalu itu, Aulia sudah menikmati pengurangan hukuman satu tahun dua bulan.
Kebangkitan Aliansi Pro-Korupsi
Ternyata, perilaku anggota Dewan jauh panggang dari api. Itulah yang mereka pertontonkan ketika membahas Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dari tingkat panitia kerja ke tim perumus, sudah terdengar usul pembancian kewenangan sejumlah lembaga menyelidiki laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Beberapa fraksi meminta kewenangan menyelidiki perkara hanya dipegang empat lembaga, yakni kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Badan Narkotika Nasional.
Akhirnya diputuskan, Komisi Pemberantasan Korupsi-bersama Badan Narkotika Nasional-boleh menerima hasil analisis PPATK, tapi sebatas dalam bentuk tembusan. Laporan aslinya hanya kepada kejaksaan dan kepolisian. PPATK juga tidak boleh melakukan penyelidikan. Seorang anggota tim perumus berdalih, begitulah sistem hukum yang benar. Tidak ada penjelasan, "sistem hukum" mana yang diikuti, dan apakah "sistem hukum" itu sesuai dengan asas keadilan dalam menangani "bancakan" korupsi yang memuakkan rakyat.
Perlukah Remisi bagi Pelaku Korupsi?
Remisi kepada setiap narapidana yang diberikan pemerintah pada saat hari ulang tahun (HUT) Kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang jatuh 17 Agustus pada setiap tahunnya merupakan acara rutin. Namun, persis setelah upacara HUT Kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada Selasa 17 Agustus 2010 baru lalu, pemerintah memberikan remisi kepada narapidana di seluruh Indonesia, termasuk narapidana pelaku korupsi. Kebijakan itu pun menuai kritik. Yang terakhir itulah hal yang sontak menarik dan memancing saling tanggap dan silang pandang silang antara praktisi hukum, pengamat hukum, akademisi hukum, bahkan pengamat politik, dan sosial.
Gayung bersambut berbuntut agak panjang dan pemerintah atau presiden pun menjadi sasaran dengan alasan tidak memiliki komitmen tegas dalam pemberantasan korupsi, menciderai rasa keadilan masyarakat. Dalam menanggapi remisi dan grasi dimaksud terkesan cenderung ngombro-ombro ngalor ngidul (melebar seolah tak berujung) meskipun pihak istana pun telah mengklarifikasi bahwa Presiden tidak ikut campur tangan dalam pembebasan bersyarat terhadap besannya. Bahkan dibanding-bandingkan dengan negeri lain yang secara metodologis keliru, Jepang misalnya sehingga terkesan 'menyesat'. Namun, mereka juga lupa, lain lubuk lain ikannya, lain Jepang lain Indonesia, dan harakiri itu di Jepang remisi itu di Indonesia. Penulis jadi ingat pepatah Minang, kalaulah tasasek kambali ka pangka (kalau sudah tersesat kembalilah ke pangkal), tentu tidak perlu menunggu tersesat lebih dahulu baru kembali ke pangkal. Dalam konteks perlu atau tidak remisi bagi terpidana korupsi, coba kembali sejenak ke perspektif yuridis, sosiologis, dan filosofis.
Gedung DPR Mewah, Rakyat Sensara
Berita akhir-akhir di media massa beberapa waktu yang lalu sempat memanas, pembangunan gedung baru dewan perwakilan rakyat menuai protes dari masyarakat dan kalangan in ternal DPR, rancana pembangunan itu menunjukkan tidak sensitifnya DPR pada masalah rakyat sehingga harus diberhentikan (kompas,rabu,1/9), hal ini langsung Ketua DPR RI Marzuki Alie, menegaskan, tidak ada rencana dari Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) untuk membangun fasilitas rekreasi seperti spa, sauna, atau pijat refleksi dalam pembangunan gedung baru DPR (kompas,rabu,1/9).
Rakyat butuh beras, bukan gedung DPR yang mewah, Negara kita mau kemana? apakah membangunan dunia kapitalisme dengan simbol kemewahan elitnya atau peningkatan kesejahteraan rakyat, DPR syah saja untuk membangunan gedung DPR yang mewah karena anggota DPR juga punya nafsu, tapi kita menginginkan agar anggota DPR menahan untuk bermewah mewah, disaat kondisi bangsa kita yang semakain tidak jelas, ketimpangan yang kaya dengan simiskin semakin dalam jurangnya, ditambah lagi anggota DPR telah banyak mendapatkan fasilitas mewah selama ini, kalau ini tetap pembangunan gedung DPR yang membutuhkan dana APBN yang banyak tentu ini jelas melukai hati nurani rakyat, boleh membangun gedung DPR tapi fasilitasnya meski sederhana, sesuai dengan nasib bangsa kita hari ini.
Beberapa waktu yang lalu juga terjadi di sistem penerbangan nasional yang  tidak professional, sistem radar yang tidak berfungsi beberapa jam di bendara Soekarno Hatta, dan matinya lampu di bendara yang julukan internasional, memang harga nyawa manusia di negeri Indonesia seperti benda.

Tidak ada komentar: