Demokrasi bisa hancur ketika semuanya ingin jadi penguasa, seperti yang dikatakan Plato dalam pemikirannya Negara Kota (City State). Athena yang berkembang menjadi sebuah negara demokrasi pada masa Pericles, kemudian hancur pada tahun 431-404 setelah diserang oleh Sparta yang kuat dari segi militer pada perang Peloponnesia. Penyebab hancurnya Athena karena demokrasi mengalami dis-order (kondisi ketidak-teraturan). Inilah yang dialami negeri kita hari ini, tentu ini menjadi kegelisahan kita dengan demokrasi liberal yang kebablasan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Demokrasi dari rakyat untuk rakyat, suara rakyat adalah suara tuhan, ketika rakyat tidak bertuhan lagi, maka suara rakyat bisa menjadi suara setan.
Buah simalakama diambil dari bahasa kerajaan tempo dolue, buahnya hampir sama dengan buah rambutan yang banyak terdapat di kraton kerajaan dahulu kalanya, kalau dimakan maka orang tua laki-laki meninggal kalau tidak di makan maka orang tua perempuan meninggal, tapi kalau dilihat saja kita yang meninggal. Artinya, semuanya mengandung konsekuensi yang tidak main-main. Inilah yang terjadi dalam sistem demokrasi kita hari ini. Ketika demokrasi diganti dengan sistem lain, kita telah terlebih dahulu terlanjur berdemokrasi, ketika dilanjutkan demokrasi tidak menciptakan keteraturan dimana-mana akan tetapi melahirkan anarkisme.
Demokrasi dan Elit
Demokrasi dengan segala cacat bawaan yang dibawanya, ketika ada orang baik-baik, tidak terlibat dalam hukum pidana, terus berjuang sepenuh hati ditengah masyarakat, santun, dan berakhlak mulia semantara ada lagi elit yang sudah cacat namanya, jahat, memperkaya diri sendiri, turun ke bawah ketika akan mau kampanye saja, dengan selogan berjuang dan berlindung atas nama rakyat, saat pemilihan dilaksanakan masyarakatnya lapar, diberi uang seratus ribu rupiah oleh yang cacat nama tadi, pertanyaanya siapa yang akan dipilih? Ternyata yang memberi uang tadi terpilih “rasional choice”, inilah yang kemudian menjadi elit penguasa di republik ini. Ketika elit dan penguasa jahat terpilih menjadi pemimpin dalam negara, maka ini adalah bentuk hukuman dan siksaan dari Tuhan. Tesisnya demokrasi kita relatif tidak menghasilkan sirkulasi elit atau pemimpin yang berkualitas (high political).
Dalam konteks ini, penulis tidak anti akan demokrasi, tapi yang menjadi kegelisahan kita akhir-akhir ini adalah demokrasi yang liberal (kebablasan), kebebasan yang sebebas- bebasnya, demokrasi yang sudah bertentangan dengan nilai-nilai humanis pancasila, sehingga demokrasi gagal menciptakan kondisi yang teratur dalam masyarakat, sebaliknya yang terjadi kondisi, ketidak- teraturan (dis-order), demokrasi adalah buatan manusia, tidak bisa dipungkiri untuk saat ini demokrasilah yang relatif baik dibandingkan dengan sistem yang ada.
Alangkah lucunya negeri ini, inilah segelintir penyakit yang dimiliki oleh negara, apakah tablet demokrasi mampu untuk menyehatkan bangsa ini? pemilihan kepala daerah yang penuh dengan anarkisme, tidak menerima kekalahan dalam pertarungan, korupsi yang semakin parah, negara demokrasi akan hancur ketika semua elitnya sudah melakukan korupsi meminjam istilah Plato, pemerataan pembangunan yang tidak terjadi, demokrasi yang tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai pancasila, yang berasal dan bersumber dari nilai-nilai yang diyakini dari nenek moyang, gerakan sosial (social movment) yang semakin kuat seperti terorisme yang ingin menghancurkan institusi negara, dan menganti dengan yang baru melalui revolusi output dari demokrasi yang tidak mensejahterakan rakyatnya.
Lunturnya Etika Elit
Kalau kita bandingkan dengan masyarakat yang sudah post-modernisme seperti Amerika Serikat misalnya, rakyat sudah memilih para elitnya sesuai dengan kapasitas dan kualitas tidak hanya terjebak dengan kefiguran seperti artis saja, tetapi benar-benar punya integritas dalam membangun negaranya. Sehingga tak heran jika akhir-akhir ini banyak calon kepala daerah maupun wakil rakyat yang hanya mengumbar popularitas unruk mendapat posisi-posisi yang seharusnya diisi oleh yang benar-benar memiliki kapasitas untuk dapat mengatasi masalah negeri ini yang rumit.
Lihat sekarang apa yang bisa dilakukan oleh artis yang duduk di parlemen, yang jadi Bupati, dan Gubernur, tunggu saja kehancuran negeri ini, ketika sesuatu yang tidak diserahkan kepada ahlinya dalam mengurus bangsa ini. Demokrasi semestinya mengahasilkan elit yang berkualitas, justru ini yang relatif tidak terjadi dalam seleksi elit di negeri ini, berbanding terbalik dengan jumlah elit yang korup, dengan elit yang benar-benar tidak memperkaya diri sendiri tapi benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya.
Realitas Demokrasi
Meminjam istilah teori elit menurut Mosca dan Pareto, prilaku elit masih sibuk dengan urusannya sendiri, sementara tingkat pembelaanya terhadap rakyat masih jauh dan rendah, Sementara elit dibeberapa negara demokrasi negara maju, bekerja untuk rakyat tidak hanya simbol belaka tetapi benar-benar dilakukan bekerja keras dan mengabdi untuk rakyatnya. Prilaku elit di negeri ini yang tidak sabar dengan proses, bahkan tidak mau untuk proses, sehingga banyak yang koruptor, elit yang malas, agar cepat kaya mengunakan jalur pintas dengan cara korupsi, inilah segelintir permasalahan elit dan penguasa di negeri ini yang muncul.
Apa yang dikatakan Jimm Reid itu saat ini terjadi. Rakyat kecil ditinggal oleh elite politik yang dulu pernah berjanji akan membela dan berjuang kepentingan mereka. Realitasnya, mereka hanya dijadikan tumbal. Realitas tumbal adalah bagian dari ritus politik nasional yang selalu terulang lima tahunan pemilu demokrasi. Menjadi elit politik tidak sama dengan pemalak jalanan, pemeras dan penodong saudara lain, itu akan terjadi bila tidak ada kesadaran dalam diri mereka, inilah realitas demokrasi tanpa suara hati. Namun yang jelas ketika elitnya baik maka Indonesianya baik.
Penulis adalah Peneliti Indonesian Progressive Institute (IPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar