Jumat, 27 Mei 2011

Antara Hidup dan Mati


Sukri.... pemuda tampan dari negri seribu mesjid (NTB), suaranya yang selalu lantang disaat ia menancapkan panji-panji kebenaran. ia kokoh dan tidak pernah terhempaskan oleh derasNya gelombang kehidupan. Dengan modal baju di badan dan tak pikir panjang ia memberanikan diri untuk melangkahkan kaki ke Jakarta, kota yang penuh misteri. empat bulan telah berlalu, kini ia telah memulai hidupnya, memulainya semua dari angka Nol.
Bertarung di Jakarta adalah pilihan mahal. Tidak semua orang mau dan mampu menjalninya. Kerasnya medan Jakarta sudah banyak dirasakan perantau derah. “Bertahan buat sehari saja sulit, buat makan harus kerja keras. Jika tak punya jaringan jangan harap kau dapat hidup. Ini Jakarta Bung!!!” Pikiran dan kata – kata itu menghantui Sukri.

Dinamisnya kehidupan Jakarta membuat Sukri bekerja keras. Dia mulai membuat surat lowongan kerja, masuk ke setiap perusahaan. Menawarkan diri untuk bekerja sebagai karyawan. Tapi ….
“Maaf mas, gak terima karyawan baru” tolak satpam perusahaan.

Satu – dua perusahaan sudah menolaknya. Sudah perusahaan ketiga, dan seterusnya berjalan sang jejak mereka menolaknya. Dia merasakan putus asa.

“Oy… punya duit gak lu. Cepet gue bagi, seceng deh gak papa. “ seorang berpakaian kumal menyapa. Seorang lagi mendekat “ Cepetan ada gak, lu pilih nyawa atau kasih gue duit”. Suaranya keras dan tegas. Badannya gemuk dan mukanya garang. Masyarakat sekitar mengenalnya sebagai Bang Tejo, preman pasar Kampung Jati. “Ya ampun, nih bocah lama banget sih. Udeh bang, habisin aje” kesabaran mereka mulai habis. Belum sempat Sukri bicara. Buk buk buk, pukulan telak mendarat di tubuh Sukri. Sekelompok orang mendekat dan membantu memukuli Sukri. “Aduh bang, ampun bang. Jangan pukuli saya lagi” suara Sukri memohon. Sekitar sepuluh menit preman itu menghajar tubuh Sukri. Setelah puas, sombong mereka berkata “ Lu miskin, hidup lagi di Jakarta. “Mereka meninggalkan Sukri sendirian. Wajah mereka sangat puas memukuli pemuda desa itu. Sukri menghela nafas panjangnya. Jakarta … Oh Jakarta betapa kejam sambutan dirimu padaku. Kalah deh kejamnya ibu tiri.

Dengan sisa tenaga, Sukri melanjutkan perjalanan. Bau pengap sampah menusuk hidung. Menyeret pikiran terombang – ambing bagai dibelai birunya air laut. Kawasan pasar Kampung Jati dikenal kawasan kumuh. Suara deru baja besi,busway, kemacetan dan panas mentari semakin terik menyatu masuk menembus sel – sel otak.
Bruk… tubuhnya ambruk. Hilang. Titik putih melayang. Berkabut hitam, asap mengepul dan memandikan badan. Titik putih semakin banyak  “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, “ sebuah salam hangat mengalir berdendang di rongga telinga. Sebuah salam santun khas muslim. “ Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, ah dimana saya” Sukri tersadarkan dan kebingungan. “ Tenang mas, anda sekarang ada di tempat aman. Saya Sa’i, ini rumah saya. Tadi saya menemukan mas tergeletak meregang nyawa di jalan raya. Siapa nama mas?” sejuk kata mengalir deras menimbulkan perasaan haru di hati Sukri.
Mereka saling berkenalan. Sepucuk cinta dan kesejukan rumah mengajak keduanya terasa akrab. Bagai seorang sahabat yang lama tak bersua. Sa’i meminta Sukri istirahat memulihkan kondisi badannya. “Mas Sukri, istirahat saja dulu. Nanti jika sudah sehat, kita ngobrol lagi. “ kata Sa’i menenangkan hati Sukri. Sehari dua hari, masuk hari ketiga kondisi badan Sukri mulai membaik. Sa’i mulai mengajak berbincang. Sukri mengenalkan dirinya sebagai pemuda desa. Merantau ke kota berharap mencari tambahan penghasilan dan bekerja. Modalnya dua yaitu nekat dan ijazah D3. Sa’i menawari Sukri bekerja di tempatnya, kantor Departemen Pertanian. “ Mas Sukri, coba saja melamar di Deptan. Nanti siapa tahu diterima, mekanismenya mudah kok. Gak ada suap. Cukup ikuti tes CPNS saja.” ujar Sa’i memberikan semangat dan dorongan. “ Iya nanti saya coba, bantu saya yah”jawab Sukri”.
          Tiga hari kemudian Sa’i mengantar Sukri ke kantornya. Hari itu kantor Deptan penuh sesak. Seleksi tes CPNS sangat ketat. Kabarnya dari dua puluh ribu pelamar, hanya diterima lima ribu saja. Wah bisa dibayangkan betapa sulit menembus persaingan menjadi PNS. Sukri mulai menjalani masa tegang. Soal tes perlahan akrab menyapa alur pikirnya. Menyatu dan menelurkan solusi cemerlang. Tidak semua berhasil dijawab.  Huff…soalnya menguras pikiran.
 Sekitar sore hari ujian berakhir. Masa menjelang pengumuman sangat menegangkan. Sukri dilanda virus kegelisahan, bayangan wajah orang tua berkelebatan. Sudut pikiran terpojokkan, andai dia gagal memenuhi harapan mereka. Ibu ….Bapak ...”“Dor … dilarang bengong” tegur Sa’i sore itu. Sukri terloncat kaget, “ Nih lihat pengumumannya. Selamat yah, dirimu lulus dan bersiaplah sebagai warga baru Departemen Pertanian” Sa’i melanjutkan pembicaraanya.
          Secepat kilat Sukri bersujud. Alhamdulillah, ibu bapak pasti senang mendengarnya. Besok gelar pegawai Deptan siap bersandang dan jadi identitas pekerjaannya selama di Jakarta.

 penggalan novel
Penulis : Ali Syahban ( ALIF)

Tidak ada komentar: